Oleh Dewan Penasihat IARSI | Pengamat Ekonomi Indonesia | Penulis Buku The Matchmaker : Dr. Erwin Suryadi, MBA.
INFOMAYANTARA.XYZ
Penerapan Tarif Impor Barang ke Amerika Serikat, Peluang atau Ancaman?. Pada tanggal 7 Juli 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, mengirimkan surat kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Dalam surat tersebut disampaikan bahwa Amerika Serikat tetap berkomitmen melanjutkan kerja sama perdagangan dengan Indonesia, meskipun negara ini mengalami defisit perdagangan yang signifikan dengan Indonesia. Salah satu langkah yang ditempuh Amerika Serikat untuk menciptakan keseimbangan perdagangan adalah dengan menetapkan tarif impor sebesar 32% terhadap barang-barang asal Indonesia yang masuk ke pasar Amerika.
Namun, dalam surat itu juga dinyatakan bahwa tarif impor tersebut dapat dihapus apabila Indonesia atau perusahaan-perusahaan asal Indonesia memutuskan untuk membangun fasilitas produksi di wilayah Amerika Serikat. Pemerintah Amerika bahkan berjanji akan mempercepat proses perizinan untuk pembangunan fasilitas produksi tersebut.
Isi surat ini memicu beragam pendapat dari berbagai kalangan di tanah air. Seperti yang dilansir oleh IDN Times pada 10 Juli 2025, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), David Leonardo, mengusulkan beberapa langkah strategis untuk menyikapi kebijakan tarif Trump. Di antaranya adalah peningkatan impor serat kapas dari Amerika Serikat, perlindungan terhadap industri dalam negeri, pemberian insentif kepada industri yang terdampak, deregulasi perizinan usaha, serta upaya mencari pasar ekspor baru.
Fakta-fakta ini mengindikasikan bahwa Amerika Serikat—negara yang dikenal sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia—juga sedang menghadapi tantangan ekonomi domestik, salah satunya adalah berkurangnya kapasitas dan keberadaan industri manufakturnya. Industri yang kuat dan masif dalam sebuah negara tidak hanya menjadi sumber pemenuhan kebutuhan domestik, tetapi juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dari berbagai lapisan masyarakat. Kehadiran satu pabrik besar saja mampu menyerap ratusan hingga ribuan tenaga kerja, sebuah kondisi yang sulit dicapai oleh perusahaan-perusahaan berbasis perdagangan murni.
Dalam buku The Matchmaker yang kami tulis dan telah diterbitkan oleh Gramedia, dijelaskan bahwa kemajuan teknologi, khususnya kehadiran Artificial Intelligence (AI), telah menggeser peran manusia dalam berbagai sektor produksi. Efisiensi dan efektivitas yang ditawarkan oleh AI memang memberikan keuntungan produktivitas, namun di sisi lain menyebabkan peningkatan angka pengangguran yang cukup signifikan, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai publikasi global beberapa tahun terakhir.
Inilah tantangan nyata yang kini sedang dihadapi oleh para pemimpin dunia, termasuk Presiden Donald Trump dan Presiden Prabowo Subianto. Keduanya berusaha mendorong pertumbuhan industri domestik sebagai langkah strategis menghadapi dinamika ekonomi global. Di Indonesia, gagasan hilirisasi yang diusung oleh Presiden Prabowo menjadi upaya nyata untuk menciptakan peluang kerja baru serta memperkuat struktur industri nasional. Jika program ini berjalan optimal, tidak hanya jutaan lapangan kerja baru yang tercipta, tetapi pemenuhan kebutuhan dalam negeri pun dapat dilakukan secara mandiri, menjadikan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% bukan lagi sekadar harapan.
Tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat, dalam konteks ini, seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman semata. Justru, kebijakan ini dapat menjadi pemicu bagi Indonesia untuk melakukan evaluasi dan transformasi kebijakan ekonomi secara menyeluruh. Pemerintah tidak bisa lagi berperan sebatas fasilitator atau jembatan antara pelaku usaha, melainkan harus meningkatkan kapasitasnya sebagai pengarah dan perancang utama dalam menciptakan sinergi industri nasional yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Peran aktif pemerintah dalam membangun rantai pasok industri secara vertikal akan memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Dengan ekosistem yang kuat, kebutuhan bahan baku produksi dalam negeri bisa terpenuhi tanpa bergantung pada impor. Dalam kondisi geopolitik global yang semakin tidak menentu, ketahanan industri dan kemandirian pasokan menjadi hal yang sangat krusial. Tak dapat dipungkiri, tidak semua negara akan dengan sukarela mengekspor produknya ke Indonesia di saat mereka sendiri tengah mengalami kesulitan.
Namun, peran pemerintah yang solid saja tidak cukup. Dunia usaha pun harus menunjukkan komitmen yang lebih besar. Jika sebelumnya keuntungan bisa diperoleh hanya dengan berdagang, maka kini sudah saatnya para pengusaha turut serta membangun ekosistem industri yang kuat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta jiwa, Indonesia memiliki pasar domestik yang sangat besar dan menarik. Potensi ini harus dimanfaatkan untuk mendorong industrialisasi yang menyeluruh, yang melibatkan UMKM, lembaga keuangan, tenaga kerja terampil, dan institusi pendidikan.
Apabila semua pihak—pemerintah, pengusaha, dan masyarakat—dapat bersinergi dalam semangat membangun, maka tarif impor sebesar 32% dari Amerika Serikat tidak lagi menjadi sebuah ancaman, melainkan peluang besar untuk berbenah. Dengan perencanaan yang matang, pemanfaatan modal yang tepat, penyederhanaan birokrasi, serta tata kelola yang bersih dan transparan, Indonesia akan mampu menjadi negara industri yang tangguh. Inilah jalan menuju Indonesia Emas 2045.
Empat pilar utama—kolaborasi yang kuat, pemerintah sebagai dirijen, kepastian hukum yang terjamin, dan birokrasi yang sederhana—akan menjadi fondasi utama dalam memanfaatkan momentum ini. Pertanyaannya kini, sanggupkah kita menjawab tantangan ini?
Sumber: www.iarsi.org